Jam Dinding Persegi Plastik, Hari Hujan, dan Sekantung Darah.

Sebelas bulan sudah saya menetap di kamar kos ini. Tanpa jam dinding. Dan saya masih bisa hidup. Bukan sesuatu yang aneh, karena penunjuk waktu sederhananya sudah sangat mudah dijumpai dalam gadget yang pasti ada di jangkauan bagian tubuh saya. Ponsel, atau laptop. Lucunya, meski ada atau tidaknya jam dinding bukan masalah besar, sebenarnya, saya membawa loh (atau lebih tepatnya dibawakan) jam dinding dari kampung halaman. Hanya karena satu dan lain hal, (dua sih, males, atau yaa lupa naruh di mana), akhirnya jam dinding itu masih terbungkus rapi dalam kardus cokelat muda, dan saya letakkan begitu saja di atas lemari baju.
Mungkin, kalo liburan lebaran kemarin saya nggak bepergian lumayan lama, yang mengakibatkan saya harus packing lumayan besar-besaran, dan tentu saja efeknya unpacking lumayan heboh juga, saya nggak akan menyadari betapa kacaunya kamar saya selama ini. Dan betapa saya akhirnya akhirnya membutuhkan space di atas lemari untuk meletakkan koper kecil, yang akhirnya membawa saya kembali menyadari keberadaan, si jam dinding ini.:D Oh well.

Tersenyum, menerawang sebentar, lalu tersenyum lagi. Butuh sedikit waktu memang untuk mengeluarkan kembali jam ini. Oh ya, tentu saja saya perlu alat bantu untuk dapat sedikit meninggikan tubuh untuk mengambil jam tersebut dari atas lemari. Namun, yang lebih penting dari itu, jam dinding ini menyimpan sebuah kenangan berharga, sesaat sebelum saya beranjak pindah ke ibukota ini. :)
Jam dinding persegi plastik. Bukan barang mahal mungkin. Tidak kelihatan mewah sama sekali, murahan iya justru kalau ditimbang dari segi kemantapan berat dan desain. Jika dipandang dari 'cara memperolehnya', itu hanyalah hmmm hadiah? Kompensasi? Kenang-kenangan? Cinderamata? :)

******************************

24 Agustus 2010. Itu informasi tanggal yang tertera pada foto (di atas) yang diambil lewat ponsel saya. Sengaja foto itu terus saya simpan untuk sedikit mengenang kejadian kecil tak terlupakan yang terjadi di kala itu.

Hari itu merupakan hari-hari menjelang hari raya Lebaran tahun lalu. Toko-toko semakin sibuk. Sibuk mengejar setoran menjelang liburan, sibuk mengejar keuntungan yang kian memuncak. Termasuk toko keluarga saya. Seingat saya, pada masa itu saya sedang memasuki masa pengangguran nanggung. Benar sudah ada tujuan studi lanjut, sudah lolos ujian masuk, hanya saja masa kuliah baru dimulai sekitar akhir Oktober. Sedangkan pengumuman penerimaan mahasiswa sudah ada semenjak awal Agustus. Sedangkan aktivitas rutin saya di Surabaya sudah hampir mendekati titik nol. Jadilah saya memutuskan untuk mengisi kekosongan sekitar dua setengah bulan tersebut dengan membantu toko keluarga saya.

Hari itu kalau tidak salah hari Selasa (saya nggak nyontek kalender elektronik sebelumnya, tapi ternyata setelah mengetik, baru mengecek, BENAR! wah otak saya bekerja bagus kalau urusan gini-gini :p).
Seingat saya pula, semenjak pagi, awan sudah agak mendung (kalo ini gak bisa dicek ulang :p, tapi biasanya otak saya buat gini2an, beneran sanggup dipercaya kok). Hari itu, saya 'ditugaskan' untuk membantu kakak saya di toko yang terletak di Surabaya bagian Utara. Padahal biasanya, saya lebih banyak diperbantukan di gudang, di daerah menuju Gresik sana. Tapi kata pihak yang berwajib, menjelang lebaran, makin banyak orang memesan parsel dan sebagainya, sehingga lebih banyak sumber daya yang dibutuhkan di toko. Ohya eniwei, keluarga saya punya usaha distributor makanan impor. Dan menjelang hari raya, biasanya memang banyak orang memesan parsel yang sifatnya bisa di-customize sesuai selera masing-masing orang. Biasanya pula, meski yang membeli hanyalah satu orang, pasukan yang dibawa bisa sekompi, untuk membantu mengambil keputusan mungkin, or just simply bikin 'hawa' negosiasinya bisa lebih kuat gitu ya? Well, faktanya memang menjelang lebaran, arus masuk keluar manusia di toko yang mungil itu semakin padat merayap saja.

Sekitar pukul sepuluh pagi, tiba-tiba kakak saya heboh. Salah satu sahabat dekatnya mem-Broadcast Message, "Kakak saya didiagnosa terkena penyakit talasemia, dan membutuhkan donor darah golongan A, segera." Nah, golongan darah kakak saya serta saya, itu A. Langsung saja kakak saya bertanya apakah saya juga mau mendonorkan darah untuk kakak sahabatnya itu. Saya iyakan, toh cuma darah, bagi saya 'cuma', tapi sangat penting bagi yang bersangkutan. Selanjutnya, saya, bergantian dengan kakak saya, menuju kantor Palang Merah Indonesia yang terletak di bilangan Embong Sawo atau Embong apa gitu nama jalannya. Pihak kakak sahabatnya itu yang memfasilitasi menjemput kita dari toko, mengantar lagi ke toko, secara bergantian. Kakak saya dulu, lalu saya. *Karena ayah saya berpesan, toko tidak boleh ditinggal saya dan kakak berduaan sekaligus. Sekitar pukul satu siang mungkin, kakak saya kembali dari PMI, lalu giliran saya.

Mendonorkan darah waktu itu bukanlah pengalaman pertama saya. Sebelumnya, sudah dua atau tiga kali saya ikut mendonorkan darah, waktu di gereja ada program rutin mengundang PMI. Yang saya tahu, biasanya setelah mendonorkan satu pack darah itu, kita akan mendapat sepaket makanan minuman pemulih energi, seperti susu (biasanya susu ultra coklat 350 cc favorit saya :9), telur rebus, snack mengenyangkan (semacam lemper), dan juga biskuit berenergi (seperti biskuat). Namun kali itu, paket makanan-minuman pemulih energinya nggak sebanyak dan seberkesan sebelumnya itu deh. Seingat saya cuma ada susu dan satu buah roti. Namun, ada satu tambahan lagi, yaitu sebuah kardus kotak coklat semacam cinderamata gitu. Apa isinya? Yeah, jam dinding persegi plastik.

 

Zzzzzz... Apa sih ini.. jam dinding jelek... Saya lebih milih telur rebus + biskuat + lemper rasanya ketimbang jam dinding ini... 
Begitu batin saya saat itu. Ya sudah, saya taruh saja di mobil jam dinding cinderamata dari PMI itu. Sekitar pukul tiga sore, saya sampai kembali di toko. Langit semakin mendung. Masih belum malam padahal. Saya masih ingat, sesampainya di toko, saya langsung membantu mengecek barang-barang yang baru datang dari gudang, yang sengaja distock di mobil box depan toko untuk memudahkan pengambilan barang-barang untuk parsel. Beberapa saat setelah pengecekan hampir selesai,  saya dipanggil masuk ke dalam toko. Mama saya menelepon, kata pegawai saya. Hmm, saya kira, mungkin mama akan bertanya tentang proses donor darah tadi.

Betapa kagetnya saya ketika, tanpa ba bi bu, mama saya sudah berbicara dengan nada meninggi. Dia bertanya apakah betul saya yang kemarin mencatat order parsel untuk perusahaan apa gitu. Intinya, dia marah-marah karena gara-gara prosedur pencatatan saya yang tidak dilakukan seperti yang biasa dilakukan para pegawai itu jadi membingungkan para penyiap barang. Saya berusaha menjelaskan, bahwa pada hari tersebut, semua orang memang sangat repot, sehingga ketika saya bertanya bagaimana  SOP dalam mencatat order barang, tidak ada yang menggubris saya dan jadinya tambah bikin kondisi tambah rumit dan merepotkan. Tapi sepertinya maksud itu tidak bisa tersampaikan dengan baik ke mama saya pada saat itu. Entah karena suasana yang serba hectic, atau entahlah?

Langit semakin mendung. Demikian pula suasana hati saya. Ditambah ketika kakak saya ikut menimpali dengan mengulangi apa yang sudah dikatakan mama saya ke saya. Mendengarkan penjelasan dari saya? Entahlah, saya sudah lupa apa saya masih cukup berkeinginan untuk memberikan penjelasan. Yang saya ingat, beberapa saat setelah saya menyelesaikan pengecekan barang (sisa tanggung jawab hari itu), saya memang harus segera pulang karena guru les privat mandarin sudah menunggu di rumah.

Saya lupa kapan hujan mulai turun. Yang jelas, dalam perjalanan menuju rumah yang bisa ditempuh sekitar 20 menit itu, hujan turun sedikit demi sedikit. Lalu semakin deras. Diikuti dengan air yang mengalir dari mata saya. Ada kalanya saya memilih untuk mengatur pulasan wiper dalam kecepatan rendah, sehingga kaca depan tampak setengah jelas setengah buram, seakan-akan supaya saya bebas mengeluarkan isi hati dan pikiran saya lewat segala jenis air yang bisa dikeluarkan dari wajah saya.

Saya enggak marah dengan mama saya karena ucapan meningginya. Demikian pula dengan kakak saya. Yang bikin saya sedih itu, adalah kontrasnya kondisi yang ada. Hey, saya ini habis mendonorkan darah untuk seseorang yang saya saja enggak kenal siapa. Cuma pernah dengar namanya. Saya ini bisa dibilang ikut menyelamatkan nyawa orang tidak dikenal itu loh?

Dan saya ini bukan perampok, atau pekerja penerima gaji buta. Secara profesional, saya bukan karyawan toko keluarga saya. Saya ini membantu secara sukarela. Saya tidak mengharap imbalan apa pun. Saya bisa milih untuk keluyuran nggak jelas ketimbang membantu jadi pemagang enggak jelas pula di situ. 
Di tengah ke-hectican sehari sebelumnya itu, saya mengambil insiatif pribadi loh untuk menawarkan diri mencatat order. Saya bisa saja memilih tanggung jawab yang lebih nggak beresiko. Bahkan ketika nggak ada yang mau memberitahu saya caranya, saya cari cara sendiri, belajar otodidak. Dan lagi, yang saya lakukan itu bukan kesalahan. Saya hanya tidak menuruti cara atau menggunakan simbol lambang yang sudah biasa berlaku yang juga tidak pernah dikomunikasikan secara langsung kepada saya.
Mungkin seperti itu carut-marut statement yang semestinya ingin saya tumpahkan semuanya pada saat itu.

Maksud saya, kontrasnya, saya itu sedang melakukan perbuatan baik kepada umat manusia yang lain kan? 
Saya sedang menabur perbuatan baik, memberikan darah, meluangkan waktu, menawarkan inisatif. Terus apa yang saya dapat?

Sepertinya semakin kencang air mata mengalir membasahi pelipis saya, semakin deras juga hujan membasahi kaca depan saya. #eaaa dan saya sempat-sempatnya mengabadikan momen yang menurut saya artistik itu.

Setelah mengeluarkan pernyataan serta pertanyaan macam itu di dalam hati, hujan mulai mereda. Wiper pun lebih bisa mengatasi memperjelas pemandangan dari kaca depan mobil, meski masih difungsikan dalam kecepatan rendah. Perlahan pelipis saya mulai mengering. Perlahan pernyataan ataupun pertanyaan batin saya mulai menjinak. Lebih berusaha mendengar ketimbang secara agresif menyerang.

"Itulah memberi."

Itulah memberi. Memberi yang tidak mengharapkan balasan apa pun. Sama sekali.

"Itulah menghargai."

Menghargai itikad baik. Niat baik. Meski pada eksekusinya bisa penuh celah ketidaksempurnaan.

Hujan semakin reda. Wiper tidak perlu lagi dinyalakan.
Dan saya, belajar.

Memberi itu, bukan mengukur atau meminta balik.
Bukan siapa yang melihat atau menyoroti.

Menghargai itu, tidak bisa dilihat atau diukur dari apa yang kelihatan di akhir.
Hati itu, mungkin tidak ada yang tahu. 
Tapi, saya mau belajar memahaminya.

*************************************


Dua bulan kemudian, sekitar pertengahan Oktober 2010.
Beberapa hari menjelang keberangkatan saya ke Jakarta, kakek saya (yang tinggal serumah dengan saya), memanggil saya. Ia memberikan beberapa barang-barang kecil, untuk digunakan selama saya di 'rumah' baru katanya. Beberapa buah gantungan kunci, boks-boks kabinet penyimpan barang, serta yang terakhir, ia bertanya,

"Fong-Fong (nama cina saya), sudah ada jam apa belum buat di kamar nanti?"

"Belum Kung (sapaan saya buat kakek)," jawab saya.


"Oke kalo gitu Kung-Kung kasih ya. Mau jam meja atau jam dinding?"


"Hmm.. jam dinding aja deh."

"Oke, Kung-Kung kasih jam dinding paling bagusss ya punya Kung-Kung."
#eaaa tentunya saya langsung berharap deg-deg an... dapet jam dinding yang apa yaaaaaa

Esoknya, suster Kung-Kung saya menyerahkan sebuah kardus cokelat berisikan jam dinding, yanggggg ternyata adalaaaaaahhhhhhh.... en ging eng....................................
Iyesss. tepat sekali..... jam tangan persegi plastik merah hitam putih dari PMI itu!

"O.O..........................................."

Saya baru ingat, sesampainya di rumah setelah peristiwa 'hujan' dan 'darah' itu, saya asal saja meletakkan kardus 'souvenir' PMI itu di meja 'serbaguna' di rumah saya. (Serbaguna karena itu biasanya meja tempat meletakkan koran, undangan, kunci mobil, dan lain-lain). Eh, ternyata, beberapa saat setelah itu, kakek saya melihat jam itu lalu memutuskan untuk menyimpannya. Ohya, kakek saya emang agak fanatik sama benda-benda yang mengandung unsur merah. Semuanya yang ada merahnya bagus katanya. (Yeah, cina tradisional gitu lah).

Sambil ketawa ngakak, saya akhirnya menerima kardus berisi jam dinding itu, dan memasukkan ke dalam kardus besar berisi barang bawaan untuk ke Jakarta. Entah kenapa waktu itu saya memutuskan untuk tetap membawa jam dinding 'jelek' itu, padahal jam dinding nganggur di rumah yang lebih bagus juga masih banyak. Apa karena jauh di lubuk hati yang terdalam, saya ingin selalu diingatkan dengan kenangan itu?

Well, akhirnya setelah tergeletak selama sebelas bulan di ujung lemari, saya memutuskan untuk memasang jam dinding persegi plastik tersebut. Saya pilih, secara arah pandang yang persis di depan ranjang saya. Sehingga ketika saya bangun tidur, langsung bisa kelihatan. Agak aneh sih posisinya, persis di sebelah kanan pintu masuk. Ya biarlah, yang penting kelihatan terus. :p


Jika akhirnya saya memilih untuk memasang jam dinding ini, tentu bukan karena tujuan fungsional semata.
Ya, mungkin sama halnya seperti ketika saya memilih untuk membawa jam dinding ini ke Jakarta (meski nggak dipasang-pasang sampai sekian lama juga).

Saya ingin terus mengingat, 
dan mungkin diingatkan.
Seperti apa 'arti memberi' itu.
Seperti apa 'rasa menghargai' itu.


DREAM Unlimited, LEARN the Unexpected, ACT Unconditionally

Comments

  1. seneng banget baca tulisanmu, udah lama ga cerita panjang lebar gini. kangen lho baca tulisanmu :)
    crita2 jg sputar kuliahnya ya, pengen tau gmn rasanya kuliah S2 =)

    btw, kyknya kamu jrang banget ya nanggepin komen yg masuk :)


    --pengaggum tulisanmu--

    ReplyDelete

Post a Comment

thanks!