Creative Business


Pada posting sebelum ini (Manusia Outliers), saya sempat menyebutkan "Creative Business" alias bisnis di dunia kreatif sebagai salah satu impian saya. Apaan itu bisnis dunia kreatif? Emang bisa? Ngapain sih kok milih dunia itu, kayak kurang lahan bisnis aja?

*****
Dulu saya sering sekali bertanya-tanya kepada diri saya sendiri.
"Saya ini manusia kok nanggung banget sih? Bener minat nya banyak, bisa nya banyak, tapi justru menyebalkan. Nggak ada yang spesifik, dan memang ketika menjalani untuk menjadi spesifik banget, saya jadi tidak menikmati. Dulunya saya pikir saya memang manusia labil yang mudah bosan.
Ya seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Waktu nyemplung di dunia akademis serius, nyarinya hal-hal non-akademis yang kreatif melulu. Waktu akhirnya nyemplung di dunia kreatif, tetap merasa ada kebutuhan belajar bisnis secara akademis. Waktu akhirnya masuk belajar bisnis secara akademis, kerinduan serta menyelipkan segala bentuk kreatifitas aneh-aneh juga selalu ada dalam setiap tugas maupun project. Semua jadinya seperti lingkaran setan. Dunia kreatif doyan, tapi sepertinya bukan full jadi profesional belaka. Dunia bisnis tertarik sekali, tapi kok bisnis 'konvensional' yang murni trading atau industrial, sepertinya 'gak saya banget.' Enterpreneurship? Jelas jadi jiwa saya. Lantas?
Enterpreneurship di dunia kreatif. Itu jawabannya.

Seiring dengan perjalanan pembelajaran saya tersebut, saya kerap kali mendengar berita-berita menyedihkan mengenai dunia media di Indonesia. Entah itu media cetak, maupun elektronik seperti pertelevisian dan perfilman. Media hampir mutlak ditunggangi pebisnis berkepentingan full bisnis ataupun pihak-pihak beragenda politik. Sebaliknya, para pekerja kreatifnya sendiri, akhirnya menjadi terjajah. Dengan ditunggangi kepentingan, ribuan batasan untuk berkreasi (bahkan dari pemerintah), alhasil, yang berani nyemplung ke dalam dunia kreatif hanyalah orang-orang yang sering disebut 'berbekal passion.' Yang tidak mau hidup susah, haram hukumnya masuk dalam dunia ini.

Saya paham, namanya pengelolaan media pasti butuh duit, tidak sedikit.Ini juga bagian bisnis, bukan kerja bakti. Cost, Benefit, Profit, semuanya harus diperhitungkan. Masalah utama juga bukan pekara pekerja seni dan investor, tapi juga dari segi audiens. Ya betul memang, audiens di Indonesia sifatnya yang blablabla, sukanya tontonan yang blablabla, yang laris film atau media yang blablabla, makanya kenapa kita harus merugi dengan memproduksi media yang bliblibli.

But hey, bisnis media tidak sama dengan bisnis makanan. Saya masih ingat sekali perkataan dosen saya tentang bisnis media. "Bisnis media itu, kamu sendang menjual pesan. Pesan yang bila dikonsumsi dapat memberikan informasi, edukasi, mengubah opini, bahkan mengubah perilaku seseorang." Bisnis media berbicara tentang sebuah perubahan. Perubahan informasi, pengetahuan, pendapat, bahkan tindakan. Tergantung pihak di belakangnya, mau dibawa ke arah kanan, atau kiri. Kalau ke kanan, efeknya seperti apa? Kalau ke kiri seperti apa?
Pertanyaannya, apakah pihak-pihak belakang layar tersebut, sebegitu pedulinya dengan efek jangka panjang yang akan dibawa 'pesan' tersebut? Ataukah ujung-ujungnya kepentingan? Kepentingan pribadi? Komersil? Kapitalisme? Kekuasaan? Reputasi?

Saya sering bertanya-tanya. Tidak adakah orang punya duit - yang bisa menjadi investor - yang at least mencintai dunia seni? Atau mungkin bila ada, tidak banyakkah, dibanding yang menjadikan media sebagai murni 'mesin pencetak uang' tanpa memperhitungkan efek yang diberikan 'produk pembawa pesan' tersebut.

Sebaliknya, untuk orang-orang yang memang jiwanya, orisinil, seorang pekerja seni, saya juga sangat memahami, tentu tidak mudah bagi mereka untuk terus-terusan berurusan dengan duit-duit, hal-hal yang akhirnya mengurangi fokus mereka sebagai kreator.

Dari penggalan-penggalan peristiwa serta pengamatan saya tersebut, akhirnya saya dapat menarik sebuah benang merah. Betul juga. Selama ini, kecenderungannya memang seperti itu. Bisnis dan kreatif sepertinya susah nyambung. Kalo kreatif yang otak kanan, males banget ngurus urusan manajemen. Maunya yang bebas, nyeleneh, inspiratif, gitu-gitu melulu. Sebaliknya, yang dunia bisnis, juga sepertinya susah menyatu dengan makhluk-makhluk seni yang tidak terorganisir, nyantai, ambisi dan goal tidak terlalu lugas.
Saya?
Di antaranya.

Banyak yang bilang segala konsep-konsep idealisme akan terbuang begitu kita masuk ke dunia nyata. Ketika kita berjumpa dengan apa yang namanya uang dan kekuasaan.
Yang saya mau percayai adalah, pada kenyataannya, praktek memang bisa fleksibel berubah.
Tapi, hal-hal yang menjadi konsep dan prinsip, adalah pegangan untuk menuju tujuan akhir.

Sedari awal, perjalanan ini memang bukan milik saya sendiri. Tuhan yang memberi tujuan, mimpi, membuka pintu, menyatukan mata rantai, dan saya yakin, yang menuntun satu demi satu langkah saya. :)

DREAM Unlimited, LEARN the Unexpected, ACT Unconditionally

Comments

  1. "Saya ini manusia kok nanggung banget sih? Bener minat nya banyak, bisa nya banyak, tapi justru menyebalkan. Nggak ada yang spesifik."
    sama... hahahahha...
    *rasae baru kali ini comment meski sering mampir..permisi..hahahhah

    ReplyDelete

Post a Comment

thanks!