Pintu itu (part 3)

Mungkin bukan kehendaknya untuk memasuki pintu itu. Mungkin dia tidak sadar bahwa dia sedang memasuki pintu itu. Mungkin dia tidak bermaksud memasuki pintu itu. Mungkin cuma saya saja yang mengartikan bahwa dia sedang memasuki pintu itu. Mungkin cuma saya yang 'merasa' bahwa dia sedang memasuki pintu itu.

Awal ketika saya menyadari fakta, bahwa ada seseorang yang memasuki pintu itu, dan diikuti fakta 'kemungkinan-kemungkinan' tersebut, saya sempat bingung dengan begitu lebay-nya. Bingung mau mengambil langkah seperti apa. Saran terbijak yang pernah saya terima adalah, "Ya jalani saja. Kenali dia dulu secara alami, toh kamu nggak buru-buru." Nah saya suka sebenarnya saran itu. Dan memang selama ini prinsip seperti itulah yang saya anut. Jalan dan kenal secara alami, tidak buru-buru. Let the natural time test wisely.

Nah (lagi), masalahnya, gimana mau naturally kenal, ketemu, ralat, ngobrol aja jarang. Sebulan belum tentu sekali. Ralat, tiga atau empat atau lima bulan belum tentu sekali. Ketemu apalagi. Seperti yang udah pernah saya singgung sebelumnya, dia beneran di luar komunitas tempat saya 'nongkrong' biasanya. Trus kok bisa ketemu? Ya ada, di suatu tempat, yang jelas bukan tempat yang bisa dikatakan sering nongkrong. Ya bisa sering nongkrong juga, tapi dianya juga belum tentu nongkrong di sana. Hmm.. ya itu tidak penting lah.Yang jelas 'strategi' kenal betul-betul alami selayaknya teman yang pasti ada jadwal rutin untuk ketemu atau ada topik obrolan itu hampir dibilang nol besar.

Jadinya ketika saya memutuskan untuk 'mencoba' mengenalnya, saya seakan melakukan hal-hal yang tidak pernah saya duga akan saya lakukan sebelumnya. Mencari link, cara, atau memanfaatkan kesempatan yang ada sebaik-baiknya untuk bisa mengenal, atau sekedar say hi ato ngobrol dengannya. Norak? Maksa? Hmm.. saya lebih suka menyebutnya sebagai 'usaha.' :D Beberapa hal menarik dalam rangka 'berusaha' ini yang akhirnya mempengaruhi pola pikir saya keseluruhan adalah, bagaimana saya memandang diri saya dalam proses 'berusaha' ini.

Oke, saya cewek, dia cowok (oh yea, please!). Umumnya, lazimnya, atau istilah arbitrairnya 'kodratnya', kelebihan cowok adalah berusaha, kelebihan cewek adalah bernegosiasi. Nah saya tidak tahu sudah berapa lama budaya, prinsip, ataupun kesepakatan budaya kagak jelas itu sudah dijadikan 'paten' dalam masalah kayak gini. Yang jelas, sebagai wanita yang tidak ingin dikungkung dengan stereotype dan perjanjian budaya tidak jelas muasalnya seperti itu, saya memutuskan untuk tidak mengindahkan hal-hal genderial tersebut.

Secara esensial, saya manusia, dan dia juga manusia. Dia pria dan saya wanita, karena itu wajar ada ketertarikan yang terjadi, entah itu dari saya dulu, dari dia dulu, atau dari keduanya. Kita sama-sama punya hati dan tentu saja otak. Jadi ketika misalnya hati saya yang tergetar lebih dahulu (OMG saya gilo2 sendiri pake istilah ini..) karena ketertarikan terhadap dia, saya rasa wajar-wajar saja bagi saya untuk mencoba mengenalnya. Masalah nanti dia menanggapi seperti apa, itu adalah urusan dia sebagai pribadi yang juga punya hati dan otak. Kalau oke, hatinya yang akan merasakan, dan otaknya yang akan memerintahkannya untuk lanjut. Kalau tidak, ya sebaliknya. Yea, at the end, kalau memang hati beserta otaknya memberikan tanggapan positif, baru itu saatnya perannya sebagai manusia lain, juga harus ada dalam 'proses' ini. Final decision, ada di tangan kedua belah pihak. Gitu aja deh pandangan yang akhirnya menjadi pijakan bagi saya untuk memandang hal-hal yang berhubungan dengan urusan ketertarikan lawan jenis ini. Entah mau dibilang aliran modern, feminis, ato apapun, saya lebih suka dibilang sebagai wanita sekaligus manusia normal, yang cuma mau jujur dengan apa yang dialaminya, dan mau bertanggung jawab atas setiap keputusan yang dibuatnya. The best, and the worst. The all package.

Kalo melihat penjabaran panjang lebar saya tentang bagaimana saya menanggapi hal ini, kesannya kan yang saya lakukan sekarang adalah berjuang habis-habisan. Lantas mengapa di awal, saya sebutkan tentang 'half open door' itu? :) Dibilang menyerah, saya memang melepaskan segala kemungkinan di depan ke dalam tangan yang di atas (cieee). Dibilang berjuang, saya memang memutuskan untuk terus mencoba. Batasnya memang tipis. Tapi seperti itulah. Saya tahu saya saat ini sedang melangkah memasuki hal-hal baru, menuju tujuan yang sudah saya impikan dan cita-citakan dengan mantap sejak dulu. Saya juga tahu apa yang dia hadapi bukanlah hal mudah atau tanggung jawab yang biasa dihadapi manusia seusianya. Dia juga terus menjalani hal-hal yang butuh konsentrasi penuh dengan tingkat tanggung jawab yang besar. Karena itu, saya putuskan, dengan segala hal yang baik saya maupun ia lalui saat ini, biarkan waktu menguji. Apakah dia hanya sesosok yang sepintas lalu memasuki pintu itu? Apakah pada akhirnya hanya saya yang merasa bahwa dia telah memasuki pintu itu? Apakah nantinya dengan begitu banyak hal yang kita hadapi dalam dunia saya yang baru, dia akan tetap ada di sana?

Bagi saya, tidak mudah untuk akhirnya mengambil langkah ini. Perputaran ego, rasa keingintahuan, bla bla bla yang ujung-ujungnya menyangkut kepentingan saya begituuu berkecamuk dalam pemikiran saya. Namun, well, inilah keputusan akhir saya. Semenjak saya akhirnya belajar, cinta itu tidak egois dan mementingkan kepentingannya sendiri. Apapun akhir kisah cinta ini, saya nggak pernah menyesal. Karena saya telah belajar hal baru lagi, tentang, CINTA itu sendiri.

"The quickest way to receive love is to give;
    the fastest way to lose love is to hold it too tightly;  
and the best way to keep love is to give it wings."

P.S. Thank you mystery for giving me a chance to learn about, love. 
I'll keep dancing until i know, what it is.

The good you do today, will often be forgotten. Do good anyway.

Comments