post- 'its over'- syndrome (part 1)

Awalnya, saya mendefinisikan situasi dan perasaan saya ini sebagai post 'broken heart' syndrom.
Lebih tepatnya, saya berusaha mendeskripsikan dan mencari istilah yang tepat untuk situasi ini, dan istilah itulah yang pertama muncul di benak saya.
Namun setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya berbeda kok.

Dari segi situasi, jelas ini bukan perkara yang berawal dari ketertarikan antar lawan jenis seperti layaknya peristiwa jatuh cinta. Ya, ada ketertarikan sih, tapi dalam hal lain.
Mengapa saya mempertimbangkan istilah 'broken heart' atau putus cinta? Ya memang karena ada suatu pertalian yang di'putuskan.' Sekalipun sekali lagi bukan cinta. Tapi, saya sempat mengartikan pertalian ini sebagai sebuah 'cinta', (meski saya gak pernah merasakan hubungan pertalian cinta yang sebenarnya). Tapi saya sungguh menghargai segala komitmen, rencana ke depan, persamaan visi, yaa.. selayaknya saya memandang berharganya sebuah hubungan cinta.

Dan selayaknya, pasangan yang dimabuk cinta, perbedaan akan kita jumpai seiring dengan berjalannya waktu dan intensitas komunikasi serta aktivitas. Dan saya yakin, setiap manusia yang terlibat dalam hubungan entah cinta entah seperti saya ini, pasti juga sempat mempertimbangkan argumen seperti ini ketika dilanda konflik, "Wajar lah ada ketidakcocokan, ini adalah ujian yang akan memperkuat hubungan kita."
Dan dengan kepolosan dan 'niat tulus' berbalut semangat 45, motivasi itulah yang terus melandasi perjuangan saya. Saya merasa pertemuan ini digariskan Tuhan, visi kita tampak begitu menyatu, segala sesuatu tampak begitu indah, dan sempurna?

Oke. Saya tidak mau berpanjang lebar dengan peristiwa putus cinta atau pertalian atau rantai apalah ini.. (Saya juga heran kok jadi ngoceh panjang lebar gini..) Yang jelas, pada satu titik, saya merasa, hubungan ini tidak bisa dilanjutkan lagi. Ada yang salah dari dalamnya, ada yang tidak beres. Singkat cerita, saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Sulit bagi saya untuk mengakhirinya. Dalam post saya beberapa bulan lalu, saya sempat menyinggung. Bagi saya, yang terberat bukanlah melepas siapa atau pihak yang menjalin hubungan dengan saya. Tapi, 'hubungan' itulah yang paling berat saya tinggalkan. Saya tahu ini terdengar konyol dan mungkin sok filsuf. Tapi entah bagaimana, saya mengartikan 'hubungan' tersebut sebagai sebuah hibrida, sebuah pribadi, yang awalnya adalah benih, janin, tumbuh menjadi anak, dan terus bertumbuh dewasa. Saya tumbuh dewasa seiring dengan pertumbuhannya pula. Toh, pada akhirnya saya harus tetap memutuskan, ya atau tidak.

Dan saya memutuskan untuk, cukup sampai di sini. Sebuah pilihan yang sangat berat. Tapi entah mengapa, setelah saya berani mengambil keputusan tersebut, yang tersisa justru, beban berat yang terangkat seketika. Nah? :')

The good you do today, will often be forgotten. Do good anyway.

Comments