Dirangkul Musikalitas: Piano, Cinta Pertama Saya


Kata mama, setiap kali saya lewat piano bertuts gading warna celometan kuning-soklat-putih yang terletak di depan pintu kamar saya di lantai dua ruko itu, saya selalu berhenti, terus dengan penuh semangat menekan-nekan tuts tersebut ngawur-ngawur 'dung creng dung tring trung...'

Ternyata itu latar belakang kenapa akhirnya mama memutuskan untuk mengikutkan saya di Kursus Musik Anak-Anak yang sama dengan yang diikuti kakak saya. Entah karena berebekan sama tingkah hyper si anak nomor dua begitu ngeliat piano, atau itu dianggap sebagai antusiasme tingginya terhadap dunia musik? Ya, karena saya manusia yang gemar berpikiran positip, saya pilih alasan nomer dua saja. Toh saya juga anak nomer dua. Kan biar sama 'nomor dua' gitu ceritanya. :D

Waktu itu usia saya tiga tahun. Kakak perempuan saya yang terpaut usia dua tahun lebih tua dari saya sudah diikutkan kursus piano. Mama memutuskan untuk mengikutkan anak-anaknya kursus piano karena dulu dia dan kedua saudara perempuannya juga dikursuskan piano sama nenek saya. Jadi katanya dia mau mengenalkan musik juga ke anak-anaknya. Meski sepanjang saya hidup di muka bumi ini, seingat saya, mama cuma pernah main piano itu lagu Fur Elise, nggak sampai 10x. Sekarang sih udah nggak pernah nyentuh piano sama sekali.
Tapi kalo dipikir-pikir, darah seni dan pemikiran modern yang 'terbuka' cukup banyak saya warisi dari keluarga besar mama. Ya saya bayangkan saja di era sekitar 60an, membelikan piano dan mau menghimbau anak-anaknya untuk kursus piano adalah 'sesuatu'. Ditambah fakta, meski keluarga besar mama berkecukupan, mereka bukan termasuk keluarga kaya raya. Kesimpulan saya, mereka memang tipe yang sanggup menikmati hidup dan cukup memajukan urusan pendidikan, termasuk yang berkaitan dengan pendidikan sekunder, such as: art.

Kursus Musik pertama yang saya ikuti adalah kurikulum Yamaha, genre klasik, kelas berkelompok (non-privat). Instrumennya, piano. Meski dalam kursus grup, mayoritas alat musik yang kita gunakan adalah electone (pada zaman itu, sekarang sudah berganti rupa dan brand menjadi Stagea). Kurikulum musik klasik milik Yamaha bisa dibilang yang paling jelas dan rapi pada zaman itu. Secara komersil, pendistribusian dan pemasarannya cukup rata. (Jago juga ya dipikir-pikir Bung Yamaha menyasak pasar kota besar Indonesia) Tingkatan kenaikan kelasnya jelas, buku-bukunya didesain menarik, isi kurikulumnya juga cukup menarik. Tingkat paling dasar nggak langsung belajar memainkan lagu-lagu maestro bak pianis karbitan jaman sekarang.

Ada bagian menyanyi bersama dengan lagu-lagu bertema menarik (hewan-hewan an, dunia kita 'it's a new world', cita-cita, dll), menggambar not, menyanyikan lagu-lagu pendek dalam not angka (solfege), belajar chord paling dasar (kadens), belajar melatih kepekaan pendengaran terhadap nada dan harmoni (hearing), belajar membuat aransemen atau merangkai melodi meski sangat sederhana (saya lupa apa istilah kurikulumnya, bahasa sederhananya sering saya sebut 'improvisasi'), memainkan lagu yang terbagi dalam aransemen beberapa alat musik secara bersama-sama (ensemble), hingga memainkan lagu secara solo (pada tingkat-tingkat lanjutan, bagian ini akan diasah lebih lanjut dalam kursus privat tambahan, selain kursus secara grup yang tetap berlangsung).

Hampir sepuluh tahun saya setia mengikuti kursus piano klasik Yamaha. Bentuk latihan yang sifatnya teknis seperti tangga nada berbagai rupa dan nada dasar sudah dilalui. Terkadang rutin, Seringnya bolong. Memainkan lagu-lagu mulai dari yang bunyinya enak, biasa saja, hingga tidak dipahami juga sudah dilalui.
Demikian pula dengan ujian dan pesta musik (semacam lomba musik internal sekolah musik Yamaha). Jenuh juga akhirnya saya dengan metode main musik 'membaca partitur' dan menyeragamkan emosi dengan instruksi yang tertulis di sana. Well, bagi kacamata saya yang berusia awal belasan tahun, itulah definisi musik klasik. Usia sekitar 12-13 tahun, saya mulai jenuh dengan piano, tepatnya musik klasik. Apalagi sejak tahun 1997-an, era musik pop dibantu boom-nya MTV sudah mulai menghiasi perbendaharaan bermusik saya. Saya ingat, lagu pop pertama yang sanggup saya hapalkan adalah 'My Heart Will Go On' nya Celine Dion yang OST.nya Titanic. Belakangan kalau dikroscek dengan teman-teman seangkatan, banyak juga yang mengaku bahwa lagu itu yang mengawali terjunnya mereka ke ranah musik pop era 90an.

Perlahan mulailah saya mengenal Britney Spears, Boyzone, Backstreet Boys, Westlife, Spice Girls, dan lagu-lagu maupun popstar lain yang menghiasi tangga lagu MTV Asia Hit List yang wajib ditongkrongi setiap sabtu siang sepulang sekolah di channel MTV (saya masih ingat detailnya, wow!)

Selain itu, awal era 2000, di kegiatan komunitas gereja, alat musik wajib yang selalu available di tengah kami adalah gitar akustik. Beda dengan piano/ electone/ keyboard. Gitar terlihat lebih down to earth. Gampang ditenteng-tenteng ke mana. Tinggal dibawa, dipangku, digenjreng. Yang 'sanggup' memainkan juga nggak harus muluk-muluk juago. Nggak harus yang sudah belajar musik lama-lama. Yang sama sekali nggak pernah kursus musik bisa terlihat 'cukup fasih' juga bergaul dengan gitar. Dan asiknya, gitar itu bisa banget dibuat sambil nyanyi! Pelan-pelan, ketertarikan saya akan instrumen yang satu ini mulai tumbuh.

*to be continued*

Lover. Dreamer. Learner.

Comments