Salam Hangat dari Kaktus: Kumpulan Memori Random di Siang Hari

"....seakan ada kaktus di tenggorokanku jika menelan sesuatu.."

Begitulah kalimat yang dilontarkan salah seorang sahabat saya, Jess, untuk mengungkapkan gangguan fisik yang dialaminya seminggu lalu. Ya, kaktus di tenggorokan memang jauh terdengar lebih artsy dan keren ketimbang 'radang tenggorokan' atau panas dalam. Yang sebalnya, entah kenapa, istilah 'kreatif' yang tempo hari masih saya tertawakan itu akhirnya sekarang saya alami juga. -_- 

Well, tidak disangka, dari kaktus ini, dimulailah, penulisan yang singkat, random, namun hmmm hangat ini. :)

Di saat JessTun sudah mulai sembuh, eh giliran saya yang kena penyakit 'langganan' satu ini. Suka atau tidak, memang kaktus di tenggorokan merupakan salah satu kawan lama yang paling sukses menjegal keberangasan saya dalam beraktifitas. Sebalnya, si kaktus ini bisa naik level jadi demam, pusing, dan ujung-ujungnya berakhir batuk dan pilek yang sangat menggangu secara audio maupun visual. Berawal dari pra-kaktus, biasanya tenggorokan sudah terasa enggak enak kalau menelan. Air putih sudah saya gelontorkan pada masa-masa itu. Dan sayangnya, hampir selalu, terlambat sudah. Esok paginya, hampir selalu (lagi), saya terbangun dengan kaktus semakin banyak di tenggorokan, dan dahak yang saya keluarkan mulai berwarna kekuningan dengan tekstur mengental.

Itulah sinyal utama si kaktus betul-betul telah tiba, momen di mana saya mulai mencari: obat dan mama. 

"Ma, tenggorokan saya sakit, minta obat." Basically memang setiap kali sakit hampir selalu (lagi!), ada ketergantungan yang erat antara saya dan mama. At least untuk urusan treatment obat, karena yang paham dengan jelas obat dan resepnya disimpan di mana itu ya mama. Dan entah kenapa, beranjak dewasa meski saya sudah paham benar letak obat berserta resepnya, tetap ada rasa kewajiban untuk lapor dengan mama. Meski sakit saya ya cuma itu: sakit kaktus, toh paling nebus resep lama dokter langganan, minum obat, sembuh. Sudah. Jelek-jeleknya kalo masih belum sembuh, ya ke dokter biasanya, minum obat baru, sembuh, sudah. Sekarang juga sudah bisa berangkat ke dokter sendiri, beli obat sendiri, tapi ya entah kenapa 'lapor' tetap terasa 'wajib' dilakukan. Meski tiap kali lapor, pastiiiiiii saja mama mengeluarkan statement "Kamu sih kurang minum air pasti" -.- Ya toh meski demikian, saya ya tetap aja lapor. Entah.

Dan well, sekarang, saya hidup sendirian terpisah dari mama. Semua 'persiapan kalau-kalau' sakit juga sudah paham. Resep obat 'biasanya' saya simpan selalu di dompet, dengan asumsi, sewaktu-waktu sakit dan mau menebus, bisa lebih praktis. Di dekat rumah juga saya tahu ada apotek yang buka hingga at least jam 10 malam. Ya sudah. Ketika akhirnya kemarin pagi 'sinyal' itu kembali datang. Tenggorokan mulai tercekat, dahak berwarna kuning mengental, saya paham, ini waktunya 'bertindak' (halah). Karena jam 7 pagi saya harus sudah berangkat dan apotek belum buka, ya sudahlah saya pikir nanti malam saja sehabis pulang kuliah baru saya tebus resepnya.

Malam hari, sesuai skenario, kerja kelompok akhirnya saya batalkan karena seharian di kampus saya benar-benar sudah lemas. Air mineral entah hampir 2 liter lebih sudah saya gelontorkan diikuti parade buang air kecil ada hingga sepuluh kali masih tetap tidak sanggup memberantas para kaktus. Pergilah saya ke swalayan untuk membeli teh cina untuk sakit tenggorokan, dan tentu saja ke apotek untuk menebus resep obat andalan saya, sampai akhirnya petugas apotek berkata,

"Untuk obat yang batuk ini tidak bisa ditebus lagi karena mengandung narkotika, hanya bisa ditebus sekali saja."

".............."

Ya sudah, akhirnya saya putuskan untuk menebus antibiotiknya saja. Eniwei entah kenapa, kali ini, saya memutuskan untuk tidak 'lapor' ke mama. Aneh juga sih manusia, waktu kondisi aman-nyaman saja saya merasa wajib lapor, ini di kondisi yang di luar 'aman dan nyaman' biasanya, saya justru memutuskan untuk lebih menyelesaikan semuanya sendiri. Nanti kalo sudah beres atau in progress baru lapor.

Saya lalu berpikir. Mungkin karena di satu sisi selama ini saya tau, justru kalau aman, saya baru akan lapor. Entah dengan konsekuensi bakal diomeli dan sebagainya. At least saya sudah tau jelas kondisi itu terkendali dan jelas solusinya. Selama saya merasa dengan saya lapor itu justru akan menambah kericuhan, tidak menambah solusi, sedangkan saya juga sudah paham solusinya, lebih baik nanti saja. Bukan berarti saya sok bebal dan berusaha menyelesaikan semuanya dengan kapasitas saya sendiri. Bagi saya sekarang 'lapor ke mama' itu bukan masalah 'ketergantungan kebutuhan atau kepentingan' semata, melainkan lebih ke arah 'update status.' Orangtua saya berhak tau apa yang saya alami dan hadapi.

"Tapi di sisi lain, hidup saya, merupakan tanggung jawab saya dan konsekuensi pribadi saya sepenuhnya. "

Karena itu, bagi saya, ada masanya di mana saya belajar menyelesaikan masalah yang menjadi tanggung jawab pribadi saya, seorang diri terlebih dahulu. 

Dan akhirnya semalam, setelah tetap terus menggelontorkan air mineral sebanyak-banyaknya, saya tidur. Sebalnya, justru di saat orang sakit dan butuh istirahat yang lebih 'lelap' dibanding bila kondisi fisik normal, justru saya banyak terbangun. Mulai dari memang harus buang air kecil (efek minum air lebay), atau sekedar hidung mampet. Dan ketika terbangun entah kesekian kalinya untuk buang air kecil, saya memutuskan untuk benar-benar bangun.
Dan bener-bener secara random, saya yang masih setengah tersadar, tiba-tiba ingin membaca buku, dari salah satu tumpukan yang belum saya baca. Dan entah kenapa lagi, saya tiba-tiba tertarik membaca sebuah novel yang sudah dibeli semenjak Oktober atau November 2010 lalu, namun sampe sekarang baru terbaca beberapa halaman awalnya.

Kawan-kawan di masa kaktus berdiam: sendal jepit hijau (teman saya berkeliaran ambil minum dan ke toilet), Novel ZZZR, antibiotik tanpa rekan obat andalan, Minyak Kayu Putih (keeps my body warm), tumblr air mineral yang terus terisi dan mengguyur tenggorokan tercinta
Cerita dalam Keheningan by Zara Zettira ZR.
Sebuah novel kisah hidup sang penulis dalam kemasan fiksi. Sebelumnya saya nggak pernah baca tulisan karya Zara Zettira. Saya mengenalnya sebagai seorang penulis naskah beberapa sinetron ngetop pada jaman sinetron memang masih 'oke.' 'Janjiku', 'Janji Hati', ya masa-masanya Paramitha Rusady, Ari Wibowo gitu-gitu deh. Sekitar 10-15 taun lalu mungkin. Entah apa yang membuat saya tertarik membeli novel itu dulu. Kemungkinan besar karena unsur 'biografi' itu. Saya memang selalu tertarik dengan kisah-kisah berbau 'true story.' Meski demikian entah juga kenapa kok novel itu bisa mulus tak tersentuh setengah tahun lebih. Everything happens for a reason kan. Dan mungkn reason saya ya cuma, males. :p

Singkat cerita, sekitar jam 7 pagi lewat saya mulai baca novel itu, terus tenggelam, sampai sekitar pukul 9 lewat 30 menit, makan pagi, minum obat, lanjut baca lagi. Dan seperti biasa, setelah selesai mengonsumsi suatu media (buku, film, lagu), yang berkesan, ujung-ujungnya saya pasti googling. Mencari tau tentang si penulis atau otak-otak di balik karya tersebut. Selalu penasaran dengan pribadi orisinil di balik karya-karya yang bisa meninggalkan kesan di benak saya, serta hal-hal apa saja yang telah mereka lalui dalam kehidupan. Meski mungkin informasi di dunia maya sudah penuh dengan rekaan, at least saya bisa mendapat gambaran, seperti apa latar belakang mereka. Lucunya, kali ini, ketika googling, saya merasa justru semua informasi yang ditawarkan sifatnya dangkal semua. Secara garis besar sama persis dengan apa yang dituliskan Zara secara detail di novelnya, dalam karakter Zaira (ya yang jelas-jelas memang cuma dipelesatkan dikit dari nama aslinya). Informasi lebih jelas yang bisa saya dapatkan mungkin lebih mengarah ke gambaran visual tentang sosok 'Zara' yang sebenarnya.


Membaca 'Cerita dalam Keheningan' benar-benar membuat saya bisa kembali mengenang masa kanak-kanak saya.
Bagaimana seorang 'Zaira' masih bisa mendeskripsikan bagaimana dia dibesarkan, peristiwa-peristiwa 'tak terlupakan' di masa lalu, manis pahit nya masa kecil, ragam pertanyaan dan keingintahuan dalam kacamata anak 'bawah umur', semuanya, setiap detil kecil maupun gambaran besarnya, sangat berpengaruh bagi pertumbuhan pribadi seorang Zara Zettira. Entah mengapa, saya jadi bisa benar-benar terbang kembali, mengendarai mesin waktu, dan 'ikut-ikutan' mengingat hal-hal besar kecil yang turut mewarnai masa kecil saya.


Keluarga, rumah, masa sekolah, hal-hal yang disukai, rutinitas ketika masa kecil. Semua memori acak yang terlintas, yang bagi manusia seakan 'biasa saja' dan 'sudah seharusnya dilalui', bagi saya, begitu turut berdampak dalam pembentukan pribadi saya hari ini. Sebagai seorang individu, manusia yang hidup.

Dalam novel 'Cerita dalam Keheningan' dikisahkan bagaimana ragam suku, agama, budaya sudah menjadi bagian dari kelahiran Zaira. Zaira kecil hidup di tengah keluarga besar dengan begitu banyak perbedaan, ditambah dengan 'karir' politik kakeknya yang semakin berperan dalam basis perjalanan kehidupan seorang anak berusia di bawah 10 tahun. Zaira kecil juga dikisahkan sebagai anak yang sangat suka berpikir, rasa keingintahuannya begitu besar, kritis, dan akhirnya menuangkan segala carut marut ranting-cabang 'pohon pemikirannya' pada tulisan, tulisan dan tulisan. Singkat kata, novel bilingual (Inggris Indonesia) setebal 500 sekian halaman itu mengisahkan perjalanan hidupnya. Masa kecilnya yang penuh 'warna', perkembangannya sebagai remaja 'anak ayah' yang dipenuhi dengan prestasi gemilang di banyaaak bidang (menulis, model, dll), karirnya yang menjadi dambaan banyak orang sebagai penulis, hingga perjalanan tanpa hentinya menyesap arti cinta. Ya, pada dasarnya, novel yang awalnya berkisah tentang 'makna kehidupan' seorang manusia itu seraya bergeser menjadi kisah tentang 'pencarian makna cinta'  berbalut opini pribadi tentang Tuhan, serta pengalaman spiritualitas.

Menjumpai cinta dalam kehidupannya, yang dimaknai Zaira sebagai 'ayahnya.' Hidup dan meraih segalanya untuk cintanya, terus disertai dengan sederetan usaha untuk memperoleh pengakuan dari ibunya, kehilangan ayah, cinta dalam hidupnya. Menjumpai cinta baru dalam sesosok pria, 'salah' memaknai cinta karena terlalu mengejar sosok ayah dalam pria tersebut, hingga pada titik diam. Diam. Hening. Dan hanya mendengar.
Hingga akhirnya, di akhir novel, Zaira dikisahkan telah menikah dan memiliki dua orang anak. Yang lucunya 'dan sangat tidak tertebak bagi saya sebagai pembaca', Zaira tidak bersuamikan karakter J*** yang dalam sepertiga buku justru menjadi satu-satunya love interest tokoh utama.
Entah bagaimana perjumpaan Zaira dengan pria yang akhirnya menjadi suami dalam hidupnya (kok ya bukan si J yang jadi suaminya meski si J tetap saja single dan dikisahkan sebagai pria yang setia dsb), yang jelas, perjalanan Zaira dalam memaknai kehidupan dan cinta tidak berakhir di sana.

Sekali lagi, karena ini hanya tulisan acak seorang yang butuh istirahat di tengah siang hari, maaf kalo begitu banyak jumping point. :P
Dan, kembali ke kesan saya pasca membaca novel ini.
Memori. Saya kira itu salah satu penciptaan Tuhan yang paling hebat.
Begitu banyak hal yang sudah pernah kita jumpai dan lalui dalam hidup, tapi, tetap begitu banyak juga hal yang masih bisa kita ingat. Meski itu hal yang kesannya keciiillll, enggak penting.
Saya masih bisa ingat gimana rasa sedih campur deg-degan campur khawatir ketika saya tidak menemukan 'sus' saya di deretan penjemput. Di kala itu saya masih umur 4 tahun btw. 
Saya ingat jelas ketika akhirnya menemukan sosoknya, saya bergegas lari ke arahnya sambil menangis. Entah kenapa. Menangis lega mungkin.

Sebaliknya, saya juga bisa tidak mengingat hal-hal yang mungkin sifatnya lebih besar dan esensial.
'Sus' alias baby sitter merupakan sosok yang pentiiing dan besaaar sekali peranannya bagi saya di lima tahun masa keberadaan saya di dunia ini. Saya ingat betapa sayangnya saya dengannya karena dialah sosok yang mengasuh, jadi teman main, dan juga 'mentor' bagi saya, karena papa mama saya benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Hebatnya, sampai sekarang, saya nggak ngerti siapa nama Sus itu. Saya bener-bener cuma menyebutnya dengan panggilan 'sus.'

Dan itulah hebatnya memori. Hal-hal yang manis maupun pahit bisa saja masih terekam, meski itu sudah puluhannn tahun silam. Hal-hal yang sifatnya enggak penting atau kecil ternyata bisa punya pengaruh besar di puluhan tahun berikutnya. Hal-hal yang dulu kita anggap luar biasa besarrnya, bisa juga hilang begitu saja.
Memori penuh dengan misteri saya rasa. Belum lagi memori yang sifatnya ada, namun tertimbun oleh memori yang lain, dan tetap ada alam bawah sadar kita.

Masa kecil punya andil besar dalam pertumbuhan seorang pribadi, termasuk lingkungan tempat seseorang tumbuh besar, bagaimana peran ayah, ibu, saudara, dan orang-orang yang berkeliaran di sekitar kita.
Keluarga, perannya luar biasa besar.
Betul-betul, pemaknaan seorang anak tentang kehidupan, berawal dari setiap anggota keluarganya.

Sebagai seseorang yang bisa sangat pengingat dan sebaliknya pelupa, saya juga kerap punya banyak pertanyaan, keingintahuan, perdebatan, ketidak setujuan yang sangat ingin saya tuangkan. Agak telat mungkin, saya mengenal dunia menulis baru sekitar saat berusia 12 tahun, ketika saya mulai menulis jurnal harian. Itu pun sifatnya sangat monoton, seakan tetap saja ada kotak-kota yang membatasi kebebasan saya dalam menuangkan segala sesuatu yang ada dalam benak saya.

Brainstorming. Bermain dengan intrapersonal, berdialog dengan diri sendiri. Ada yang menuangkannya dalam bentuk visual, literatur, audio, abstrak, entah apa itu. Selama itu memang untuk tujuan ruang pribadi yang tidak pernah mengganggu kepentingan orang lain, saya akan terus melakukan dan meberikan keleluasaan bagi orang-orang 'sejenis' saya untuk menuangkannya.
Saya bukan tipe pemikir sejati. Saya tau ada bibit-bibit itu dalam diri saya, yang mungkin semenjak masa SMA saya sudah banyak terkubur oleh padatnya jadwal aktifitas dan rutinitas. Kini, pada masa-masa saya hidup 'sendiri' dan lebih memiliki banyak waktu luang untuk 'berpikir', akan saya gunakan sebebas-bebasnya untuk, tumbuh dan mencari jawaban.

Saya bisa jadi sangat cuek, bisa jadi sangat sensitif. Sangat cuek ketika tidak peduli pendapat orang-orang yang menurut saya memang tidak perlu saya pedulikan. Hidup ini milik saya, yang sepatutnya paling tahu adalah saya sendiri. Kamu tidak paham, saya tidak peduli dengan apapun justifikasi kamu tentang saya. Begitu pula sebaliknya.
Saya bisa jadi sangat sensitif, jika itu menyangkut orang-orang di sekeliling saya yang punya banyak andil dalam kehidupan saya. Bahkan jika menyangkut mereka, saya sering seperti kehilangan 'rasionalitas' untuk berhenti ikut campur.
Dulu saya suka bingung dengan pribadi saya yang bisa 'seenaknya' saja berubah. Banyak orang yang tidak mengenal saya secara mendalam mungkin memang melihat tampak luar saya sebagai pribadi yang 'cuek' dan penuh dengan rasio. Saya pun awalnya mengira demikian. Yang ternyata makin ke sini saya makin menemukan banyak sisi yang saya sendiri tidak pahami sedemikian dalamnya.

Saya tumbuh dengan ketertarikan yang besar terhadap musik. Saya mencintai musik. Saya suka alunan nada yang bisa membentuk melodi. Saya suka padu padanan beberapa nada yang bisa membentuk harmoni. Saya menemukan aliran emosi dalam sebuah komposisi yang membuat saya turut terhanyut. Seakan ada sebuah perjalanan, cerita di dalamnya.
Saya suka bagaimana kata-kata dalam sajak, puisi, atau lirik bisa membentuk kisah yang bisa membuat kita merasa 'aku paham maksudmu' atau 'benarkah seperti itu?' Saya suka bagaimana kata-kata indah itu dapat berpadu dengan melodi dan harmoni yang rasanya begitu 'selaras.'

Intinya, saya suka musik. Instrumental, dengan lirik. Melodi saja, harmoni saja, melodi berpadu harmoni berpadu lirik. Saya suka.
Saya cinta.
Saya menemukan ketertarikan mendalam di dalam musik.

Dan saya jadi teringat perkuliahan Human Resource Management minggu lalu yang membahas 'kecerdasan musik' sebagai bagian dari salah satu kecerdasan majemuk atau multiple intelligence.
Pak Dosen bertanya "Menurut Anda, mengapa musik bisa dimasukkan ke dalam bagian dari kecerdasan?"

"Keselarasan." begitu yang saya jawab.

"kurang tepat," katanya. "Di dalam musik itu, ada kedisiplinan, serta dibutuhkan sensitifitas untuk memahaminya."

Dan dua kata kunci itu cukup membantu bagaimana ketertarikan saya terhadap musik bisa menggambarkan saya sebagai sesosok pribadi.

Mungkin suatu hari saya harus menuliskan semua randomness mungil ini ke dalam sebuah tulisan yang lebih berstruktur. Sebuah perjalanan kehidupan saya. Tidak harus untuk konsumsi publik. Paling tidak untuk refleksi pribadi saya. Bagian dari brainstorming pemikiran yang berangkat dari kacamata seorang bocah, melewati pertumbuhan kehidupan, sampai akhir perjalanannya? :)

Terima kasih Zara Zettira, telah menuliskan perjalananmu yang menemani masa-masa rehat 'kaktus'ku. Yang membuatku kembali mengingat perjalananku sendiri. Dan betapa berharga kesemuanya itu. Setiap detailnya.


oh, dan ternyata, menulis juga adalah salah satu nafasku. :) Aku tidak akan membatasi lagi. Aku akan terus menuliskan benakku.


DREAM Unlimited, LEARN the Unexpected, ACT Unconditionally

Comments