Saya: Manusia Outliers dan Kotak-Kotak di Antaranya


Banyak yang bilang, komposisi dunia ini akan terbagi dalam dua bagian, kaum mainstream, yang secara kuantitas memenuhi kurva mayoritas distribusi normal, serta kaum outliers, yang pemikirannya memasuki zona pinggiran, yang tidak lazim. 


 Saya sendiri, memandang keberadaan saya secara pribadi, lebih condong masuk dalam golongan outliers. Secara alamiah, sukanya yang nyeleneh, yang aneh-aneh, yang beda, yang akhirnya membuat saya juga nampak menonjol.
 
Well, dikaruniai postur tubuh yang memang agak di bawah rata-rata, sudah cukup membuat saya berbeda, at least jika ada di tengah kerumunan orang-orang berpostur normal. Secara karakter, kecenderungan bersikap, bertingkah, dan berbicara secara lugas membuat saya lebih sering mendapat label 'tomboy.' Belum lagi, dunia serta hal-hal yang menjadi minat saya semenjak kecil (lagi-lagi) secara alamiah adalah hal-hal yang menentang arus mainstream dunia. Hal kecil yang bisa dijadikan tolak ukur dan sangat susah dijelaskan sebabnya, contohnya, semenjak kecil, di saat semua anak perempuan beramai-ramai memilih warna pink, saya sukanya warna hijau. Beranjak remaja hingga masa kini, minat saya memang akhirnya banyak dipenuhi dengan hal-hal yang semakin melawan kode 'umum' atau 'sepantasnya' atau 'selayaknya' disukai makhluk ber-genre perempuan.

- Saya suka musik, saya memiliki ketertarikan besar dengan alat-alat musik. Main piano, main gitar, (soon: saxophone, too! :D), menyanyi, nge-band, bukan cuma sekedar jadi vokalis ato keyboardis ada-adaan (posisi yang paling umum diisi para perempuan), tapi juga ikutan menyumbang ide, menjadi keymaker aransemen, arah musik tersebut. Bahkan hingga tahap penulisan lagu dan proses recording. Saya suka keterlibatan penuh tersebut, bukan bagian followers yang cuma memainkan apa yang sudah tersedia.

- Saya suka olahraga permainan. Bukan karena saya jago. Saya suka atmosfer kompetisi, dan apa yang dinamakan daya tahan. Endurance. Stamina. Skill saya boleh kalah, tapi stamina berbicara lebih dari sekedar jago atau tidak jago. Ketahanan menyelesaikan pertandingan hingga akhir, baik fisik maupun mental, itu adalah hal yang paling saya sukai dari sebuah olahraga permainan. Sayangnya, dalam lingkungan Indonesia, seringkali spirit persaingan yang kuat, meski itu sehat, sering disalah artikan dengan ambisius menghalalkan segala cara. Tapi ya sudahlah, namanya manusia, pasti punya persepsi definisi tersendiri.

- Saya suka kisah. Kisah yang menyentuh pikiran maupun perasaan saya. Apalagi jika itu sebuah kisah nyata kehidupan seseorang. Semenjak kecil, saya begitu antusias ketika ada sesi story-telling, entah lewat pelajaran mengarang ataupun berbicara di depan teman-teman yang lain. Di sisi lain, saya juga seseorang yang memiliki keingin tahuan super tinggi. Begitu saya tertarik atau penasaran dengan satu hal, saya akan kejar hingga satu titik di mana saya akhirnya paham mengenai hal tersebut. Dan dalam perjalanan waktu, saya menemukan sebuah bidang yang merangkum kedua kesukaan saya tersebut. Jurnalistik.

- Dibesarkan dalam sebuah keluarga dan lingkungan keturunan pedagang, hidup tercukupi-mapan, bidang wiraswasta orangtua sudah tersedia di depan mata, orang luar seringkali mengira, siklus kehidupan saya sudah jelas. Selepas SMA, ambil kuliah ya dunia itu-itu lah, Ekonomi atau Teknik. Atau katakanlah apapun bidang kuliahnya, pekerjaan akan berputar di dunia wiraswasta, dan tidak jauh-jauh dari bisnis dan dagang. Dan inilah salah satu pilihan outliers terbesar dalam hidup saya sejauh ini yang akhirnya saya ambil. Mendobrak semua kotak-kotak tersebut. Bukan karena saya mau sok rebellious atau memberontak. Mendobrak artinya saya berani memperjuangkan apa yang saya rasa memang menjadi tujuan dan diri saya sesungguhnya. Ilmu Komunikasi, selanjutnya konsentrasi Jurnalistik. Itu pilihan saya.

- Orang sering bertanya-tanya "Pernah pacaran nggak sih? Kenapa belum?" Yes, saya perempuan berusia 22,5 tahun, single, dan sekalipun belum pernah pacaran. Bagi saya, basically dalam melakukan segala sesuatu, tujuannya harus jelas. Termasuk urusan relationship. Bagi saya, tujuan relationship, adalah jangka panjang dan serius: menikah. Ketika memang belum siap berpikir hingga tahap seperti itu, ya ngapain main-main. Urusan saya adalah memaksimalkan potensi yang ada dalam diri saya, tetap bergaul dengan terbuka, dengan siapa, kapan waktunya, itu urusan yang di atas.
Saya memang dilahirkan sebagai perempuan dengan kotak-kotak masyarakat yang jauh lebih 'banyak aturannya' ketimbang pria. I take that as a prerogative. Terlepas dari peran kita yang memang berbeda, satu hal yang saya percayai sebagai sebuah kesamaan. Kita sama-sama manusia, diciptakan dengan tujuan dan potensi. Jadi marilah kita mencapai tujuan yang dikaruniakan Tuhan sebagai pencipta kita. Jika dalam perjalanan mencapai tujuan tersebut kita akan dipertemukan dengan pasangan yang akan semakin memperlengkapi pribadi kita, that's a gift. Sembari belum atau tidak menemukannya, marilah kita tetap fokus pada tujuan pribadi tersebut.

Puncak keberadaan saya sebagai outliers memang paling terasa ketika saya mulai memasuki studi s1. Karakter tomboy, kesukaan terhadap hal-hal maskulin oke lah memang diakui sebagi sebuah perbedaan, namun tidak sampai menjadi sebuah alasan yang mendatangkan komentar besar dari kiri dan kanan. Dengan latar belakang SMA 'orang pintar' plus kemampuan intelektual urusan akademis yang di atas rata-rata, keputusan memilih bidang yang mendapat label 'tidak bermasa depan' dan 'kumpulan manusia norak - kurang pandai' akan selalu berujung pada pertanyaan standard seperti "Kenapa kamu masuk jurusan itu? Kamu kan pintar?"

Selanjutnya, dengan sendiri, semakin lama, dunia yang saya lewati selalu memunculkan jiwa-jiwa outliers tersendiri dalam diri saya. Lucu juga kalau dipikir.
Masa SMA, dikelilingi anak-anak dari keluarga entrepenurship, saya memiliki ketertarikan besar justru dengan isu-isu sosial masyarakat serta Hal-hal berbau soft skill yang dianggap tidak penting oleh sekolah saya yang mengutamakan pendidikan sains. Dibanding urusan akademis, saya jauh lebih bersemangat ikutan lomba debat, aktif di organisasi majalah sekolah, kepanitian bidang acara dan kreativitas untuk retreat, prom nite, album kenangan, dll dll.


Masa S1, dikelilingi makhluk-makhluk dari latar belakang budaya serta ekonomi yang gado-gado, meski saya sangaaaattt menikmati studi komunikasi, media, serta jurnalistik, bibit 'enterpreneur' yang ada dalam diri saya tidak bisa saya pungkiri. Dan itulah yang terjadi, meski semua orang (termasuk diri saya) menyadari, bahwa kecenderungan judul tugas akhir saya seharusnya lebih cocok dengan dunia kualitatif, toh akhirnya judul kuantitatif yang kental dengan poin sistematis dan angka-angka pengukuran lah yang saya pilih. Yes, saya sadar, jiwa saya bukan berhenti menjadi seorang praktisi media. Ada yang lebih dari sekedar itu. Dunia bisnis. Tapi seperti apa?

Dan akhirnya, kini, memasuki masa S2, bidang manajemen. Di tengah makhluk-makhluk dari latar belakang studi bermacam-macam yang sama-sama tertarik dengan dunia bisnis, saya juga tertarik dengan dunia bisnis. Sudah menjadi 'normal'kah saya? Belum :p
Hari ini, di tengah acara Career Day yang menghadirkan 30-an perusahaan besar yang mungkin menjadi gambaran impian perusahaan teman-teman, hampir tidak ada yang menarik bagi saya.
"Ini bukan tempat yang saya mau tuju," begitu singkatnya. Jujur, enggak ada minat sama sekali saya dengan dunia pekerjaan seperti itu.
Pertama, tujuan akhir saya, sama sekali bukang menjadi profesional. Saya ingin berwirausaha. Enterpreneur. Titik. 
Makanya tadi ketika pembukaan, saya justru tersenyum sendiri ketika salah seorang petinggi kampus menyebutkan "Habis ini, memasuki dunia kerja, akan banyak penyesuaian yang mungkin kalian hadapi. Contohnya, berpakaian di kantor mungkin tidak bisa sesantai berpakaian di kampus."

Pikir saya, "Ya, kecuali kalo saya kerja di perusahaan saya sendiri. Lah wong menurut saya pakaian kampus itu justru sudah sangat rapi: celana panjang, kaus berkerah (yang sudah saya sering langgar), sepatu tertutup. Justru maksud saya kalau kerja, bisa lebih sesuka saya berpakaiannya. :p"

Di tengah lautan perusahaan berbau industri besar, keuangan, banking, tralallaa itu, ada sebuah company yang menarik perhatian saya. Sebuah company advertising yang cukup besar di ibukota ternyata, melihat dari deretan perusahan TOP yang telah menjadi kliennya. Dan yang menarik perhatian saya adalah komentar salah seorang HR nya. "Wah, salah nih di sini, isinya orang-orang berjas semua. Di kantor saya mah isinya celana jeans bahkan celana pendek. Makanya saya gampang aja seleksi kandidat di sini. Coret yang masuk Finance, pilih yang konsentrasi Marketing. Coret yang latar belakang S1 nya Teknik."
That's it.
Kali ini, outliers berikutnya. Di tengah atmosfer bisnis, yang memang sedang ingin saya pelajari, saya tetap menemukan perbedaan itu. Sisi-sisi nyeleneh, ngawur saya.

Yep, Kedua. Dalam dunia wirausaha pun, lapangan pekerjaan yang ingin saya ciptakan bukanlah industrip pengolahan makanan, gas, banking, consumer goods, ataupun tralalalala tersebut. Saya ingin mendirikan perusahaan di dunia kreatif. Media, event, ideas, multimedia. That's it. Belum banyak yang tersorot memang di Indonesia. Tapi ya itu, sudah dibilang saya jiwanya ngawur abis. :p

Dan tentunya, dengan sekian banyak kengawuran (yang ternyata jadi panjang gini.. seriusan saya aslinya cuman mau nulis pendek2 aja), XD, inilah kesimpulan saya. Siapa Valen. Apa yang membedakan dia dengan manusia lainnya. Perjalanan penuh 'kengawuran' tersebut akhirnya membawa sebuah pengenalan lebih mendalam tentang diri saya sendiri.
Dan inilah kesan, interpretasi, serta pemaknaan pribadi saya terhadap diri saya sendiri.



CodeColour - Green:
My Super Personal Brand

Tomboy & Shortie: 
My personal -packaging- brand

Interest in Musicality: 
Songwriting, my personal space, self-actualization.

Competitive Spirit: 
another personal brand.

More to Endurance rather than skillful. 
Work Hard, rather than Work Smart.

Journalistic. 
Personal touch Combined by curiosity-fulfilling and story-telling. 

Single yet Maximizing Life. 
Way to trust the thing called 'faith' and 'God's special ending'

S1: Taking Communication Science, Journalistic Instead of Any other Major
The more you underestimate me, the more I know what my passion is, 
and How should I live from that.

Love Media World, but not focus in the Professional Field
This time i also Realize that's business seed has already put inside of me.

High Interest in Learning Business, but not the field of 'typical MNC big industrial company'
Creativity is needed anywhere you've been placed. 
And exactly, my passion is: creative business.


P.S. Tidak ada yang salah dengan menjadi bagian dari kubu manusia normal. Dan sama halnya, tidak ada yang salah pula dengan menjadi bagian dari manusia 'outliers' yang nyeleneh. Kita semua diciptakan secara spesial, entah karena normalitas kita, atau nyelenehitas kita. Yang terpenting adalah maksimal mencapai tujuan, dengan apapun potensi yang kita miliki. Dengan kecenderungan apapun yang ada dalam diri kita, yang nantinya menjadi karakter dan keunikan kita sendiri. So, kalau Anda, masuk bagian mana? :D

Saya?

Ya. Tau lah.

I guess normality isn't my style. 
Outliers. Yes, that's mine. :D

DREAM Unlimited, LEARN the Unexpected, ACT Unconditionally

Comments

  1. You are something! would you please read my blog too? i think we share the same idea here :)
    pleaseee read my blog~!
    http://robertotjia.blogspot.com/2011/04/berpikir-relatif.html

    ReplyDelete

Post a Comment

thanks!