Berwisata Bacaan di Kampoeng Ilmu*


                Istilah wisata kuliner, berpindah-pindah dari satu rumah makan ke rumah makan lain untuk berburu kenikmatan cita rasa sudah sering kita dengar. Bagaimana dengan wisata buku? Pernahkah Anda membayangkan seharian penuh, berpindah-pindah dari satu toko buku ke toko buku lain dalam satu kawasan untuk berburu berbagai jenis bacaan second hand dengan harga miring? Bayangkan, dengan budget seratus ribu rupiah saja, Anda dapat membawa pulang puluhan majalah, puluhan judul komik, dan jika beruntung, menemukan buku-buku langka. Stand yang dapat dijelajahi pun jumlahnya mencapai delapan puluh! Nah, sudahkah Anda mengerti bahwa wisata bacaan tersebut dapat dijumpai di Kampoeng Ilmu yang terletak di Jalan Semarang, kawasan utara kota Surabaya ini?
                Awalnya, mencari letak Kampoeng Ilmu memang tidak terlalu mudah, paling tidak itulah yang saya rasakan ketika hendak observasi data di sana. Meski sebenarnya cukup berjalan lurus dari kawasan toko buku bekas di Jalan Semarang, jarak yang ditempuh agak jauh. Beberapa spanduk maupun papan petunjuk arah menuju Kampoeng Ilmu juga tidak terlalu membantu meyakinkan bahwa rute yang sedang saya jalani ini benar. Karena semakin dalam menyusuri Jalan Semarang, yang makin banyak dijumpai di kiri-kanan jalanan adalah Toko Mebel, bukan lagi Toko Buku. Tapi keraguan itu akhirnya sirna ketika saya memutuskan untuk bertanya pada penduduk setempat. 
Baru saja menghampiri seorang pria di salah satu toko mebel di kanan jalan –tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun-, ia langsung menjawab, “Iya betul, lurus saja, nanti ada papan hijau bertuliskan ‘Kampung Ilmu’.” Terheran-heran, saya spontan bertanya, mengapa pria tersebut mengerti apa yang hendak saya tanyakan meski saya belum mengucapkan sepatah kata pun. “Ya kelihatan lah, wajah mbak masih anak sekolahan, mau ke mana lagi kalo nggak ke Kampoeng Ilmu.” Dan hebatnya, kejadian serupa terjadi tidak hanya sekali. Seakan penduduk sekitar sudah memahami, seperti apa karakter pengunjung Kampoeng Ilmu.

Berwisata bacaan dalam nuansa kekeluargaan yang kental

                Benar saja, setelah mengikuti instruksi dari salah seorang penduduk tersebut, akhirnya saya menjumpai spanduk berwarna hijau yang digantung di pintu masuk Kampoeng Ilmu. Sesampainya di sana, agaknya bayangan saya tentang kawasan penjualan buku bekas ini jadi berbeda. Dalam bayangan saya sebelumnya, Kampoeng Ilmu itu kawasannya berupa gang perkampungan yang sesak dengan kios buku di mana-mana. Ternyata, lahan Kampoeng Ilmu sangat luas, bahkan disediakan lokasi parkir kendaraan bermotor. Kios-kios memang ditata berdampingan, namun bukan dalam kondisi sesak, cukup lapang malahan. Meski kios hanya dibangun dari kayu-kayu yang sederhana, tidak ada kesan semrawut ataupun kumuh. Buku ataupun majalah ditata dan tergantung rapi di masing-masing kios. Agaknya, yang terletak di bagian depan adalah buku atau majalah andalan yang kerap dicari pembeli.
                Tidak salah jika dalam spanduk maupun papan petunjuk yang sempat saya lihat selalu identik dengan warna hijau, karena lahan Kampoeng Ilmu ini dibalut dalam suasana yang rindang penuh pepohonan. Karena itu, meski berada di kawasan terbuka, dan matahari Surabaya tetap bersinar terik –seperti biasanya-, saya masih dapat merasakan hembusan angin sejuk. Belum lagi sapaan ramah dari tiap-tiap penjual yang memudahkan kita menemukan buku yang sedang kita cari. Uniknya lagi, kekeluargaan terasa makin kental melihat mereka begitu bersemangat mencarikan buku yang kita inginkan dari kios teman-temannya. 
“Cari buku apa, mbak?”tanya penjual salah satu kios.
“O, saya cari majalah Mossaik tahun 2005,”jawab saya.
“Sebentar ya,” jawabnya. Menyadari bahwa dia tidak memiliki majalah yang saya cari, ia beranjak ke kios-kios temannya. Ketika kembali dia sudah membawa setumpuk majalah yang memang sedang saya cari tersebut. Setelah menentukan pilihan, saya sendiri jadi bingung, mau bayar ke mana. Heran juga, ketika mengetahui bahwa mereka terbiasa ‘membayar jadi satu’, dan bagi hasil pada akhirnya. “Bayar saja di sini, sama saja kok mbak, kita memang biasa begini,” ujarnya.
                Mengulik delapan puluh empat kios buku tentu berbeda dengan mengelilingi satu toko buku besar. Waktu jadi terasa berlalu begitu saja, bayangkan, buku yang dijual di tiap kios hampir tidak ada yang sama, apalagi jika kita mulai melakukan tawar-menawar. Meski sudah ada pasaran penetapan harga untuk jenis buku umum di sana, ketika membeli dalam jumlah banyak, potongan harga masih bisa diberikan lagi. Mencari majalah, text book untuk bahan kuliah, komik, novel, hingga buku-buku antik zaman dulu, semuanya ada. Puas rasanya ketika kita berhasil menemukan buku atau majalah yang selama ini kita cari –dan tidak pernah ditemukan di toko buku besar-, dengan harga murah pula! 
Tiga Generasi Perdagangan Buku di Jalan Semarang
                Berbicara tentang Kampoeng Ilmu tentu tidak lepas dari kisah berdirinya toko buku bekas di area Jalan Semarang. Terletak ± 45 meter dari Stasiun Pasar Turi, area yang menjadi cikal bakal icon perdagangan buku bekas di Surabaya ini sudah melewati tiga generasi. Generasi pertama penjualan buku bekas di Surabaya tersebut sudah dimulai semenjak tahun 1972-1982.  Dengan jumlah yang masih minim, dan hanya menjual majalah bekas, pada tahun 1982 kedelapan stand generasi pertama tersebut akhirnya berakhir dengan relokasi di area pasar Blauran karena dikejar-kejar aparat keamanan dengan dalih penertiban demi keindahan kota. Tahun 1990, muncul kembali generasi kedua pedagang buku yang mengambil posisi berdagang di lokasi lama. Generasi kedua ini mampu bertahan hingga tahun 1998, yang akhirnya juga direlokasi dan digabung dengan pedagang buku lain di dalam pasar Blauran.
                Memasuki krisis moneter tahun 1999, generasi ketiga pedagang buku lahir kembali di lokasi yang lama dan bertahan hingga saat ini. Meski demikian, para pedagang tersebut dapat digolongkan menjadi dua jenis, yang pertama adalah pedagang yang memiliki stand berupa toko, sedangkan jenis kedua adalah pedagang yang tidak memiliki stand dan berdagang ala kaki lima di pinggir-pinggir jalan Semarang.  Di era generasi ketiga inilah, lahir paguyuban atau organisasi yang mewadahi para pedagang buku tersebut, bernamaSerikat Pedagang Kaki Lima Bubutan Surabaya (SPKLB-Surabaya).Nah, SPKLB inilah yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Kampoeng Ilmu. 
Persiapan penggusuran: relokasi atau tidak?
                Sekitar tahun 2006, para penjual buku kaki lima tersebut sudah menyadari bahwa penggusuran yang telah dialami para generasi pendahulu juga akan segera terjadi pada mereka. Karena itu, para pedagang yang tergabung dalam SPKLB itu mulai memikirkan bagaimana nasib mereka ke depan dalam menghadapi penggusuran itu: hanya digusur begitu saja atau akan ada tindak lanjut? “Yang jelas kita memang tidak ingin hanya digusur begitu saja. Pilihannya waktu itu ada dua: direlokasi atau tidak relokasi,” ujar Budi Santoso, Ketua Paguyuban Penghuni Kampoeng Ilmu. 
                Setelah berunding bersama pedagang yang lain, mereka memutuskan untuk mengambil pilihan yang lain, yaitu relokasi. “Tapi kita juga paham, bahwa relokasi harus tetap di sekitar Jalan Semarang. Biar bagaimanapun, ketika ingin mencari buku bekas, masyarakat sudah langsung teringat Jalan Semarang. Jadi jika relokasi tapi tidak di Jalan Semarang, juga percuma,” ungkap pria kelahiran 5 April 1974 ini mantap. Karena itu, segera setelah setuju dengan rencana relokasi, mereka mulai gencar melakukan inventaris tanah-tanah kosong di sekitar Jalan Semarang. Dari hasil survey tersebut, mereka mendapati ada 2 tanah kosong di area Jalan Semarang yang milik Pemerintah Kota.
                Hingga pada akhirnya muncullah peristiwa yang sangat menakutkan bagi para pedagang kaki lima di wilayah tersebut, yaitu beredarnya surat instruksi tentang pengembalian fungsi badan jalan dan fungsi saluran air, yang diterbitkan oleh Pemkot dan Polwiltabes Surabaya. Selanjutnya, diikuti juga oleh Kecamatan Bubutan, yang isinya tentang pengosongan lokasi berdagang dari segala bentuk aktivitas pedagang kaki lima.
                Menanggapi instruksi tersebut, SPKLB melakukan aksi demonstrasi untuk melakukan penolakan terhadap penertiban yang dilakukan oleh Pemkot & Polwiltabes tersebut. Hari Senin tanggal 31 Maret 2008, seluruh PKL dibawah bendera SPKLB, mereka melakukan aksi longmarch menuju sasaran kantor Walikota Surabaya Bambang D.H, dengan tuntutan “Tolak Penggusuran” dan “Cabut Perda 17 tahun 2003.” Dibantu organisasi-organisasi mahasiswa, buruh, kepemudaan dan beberapa LSM lain yang ikut terlibat dalam proses advokasi tersebut, sampailah mereka pada tahap negoisas yangi menuntut relokasi bagi para PKL di wilayah kecamatan Bubutan. Tuntutan relokasi yang diajukan oleh SPKLB adalah lahan-lahan tidur yang terdapat di wilayah kecamatan Bubutan, yaitu sebuah lahan kosong bekas Dinas Pekerjaan Umum (DPU).
                Hasilnya, Walikota Surabaya Bambang D.H untuk sementara telah memberikan angin segar terhadap para PKL, yaitu pengabulan relokasi ke arah selatan yang jaraknya + 150 meter dari lokasi lama, masuk kedalam sebuah lahan kosong bekas lahan Dinas Pekejaan Umum (DPU). Lahan dengan luas keseluruhan + 2500 meter persegi tersebut telah menjadi lahan tidur semenjak tahun 2000 dan tidak difungsikan sama sekali. Namun demikian, PKL yang diijinkan relokasi hanyalah para pedagang buku, tidak termasuk pedagang kacamata dan PKL lainnya.
Dari kaki lima ke Kampoeng Ilmu
                Setelah mendapatkan izin secara lisan dari pihak walikota, 7 April 2008, pukul 21.00, sejumlah 84 kios yang sebelumnya berjualan di pinggir Jalan Semarang langsung pindah ke lahan yang telah disetujui. Akan tetapi, perjuangan belum berhenti sampai di situ. Karena sebelumnya, lahan itu hanya digunakan untuk tempat pembuangan kotoran selokan, kondisinya sangat tidak layak untuk tempat berjualan. Segenap pedagang mulai melakukan kerja bakti selama beberapa minggu untuk memperbaiki lahan yang terletak di Jalan Semarang no. 55 tersebut.  

                Melihat lahan yang cukup luas tersebut, para pedagang menyadari, bahwa lokasi tersebut memiliki potensi yang lebih dari sekedar menjadi tempat berjualan. Di tengah gundukan tanah yang tinggi membukit dan semak belukar yang masih lebat tersebut, muncullah ide untuk merubah lokasi tersebut menjadi kawasan Wisata Pendidikan. Bersamaan dengan itu, ide tersebut diberi nama KAMPOENG ILMU.
                Unik memang jika melihat perjuangan para pedagang kaki lima tersebut menuju Kampoeng Ilmu. Apalagi, mereka memang bukan sekedar pedagang kaki lima biasa. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan pedagang kaki lima yang berjualan pakaian maupun makanan, karena apa yang mereka jual bukan sekedar buku, tapi apa yang menjadi sumber kemajuan pendidikan bagi kota Surabaya. Selain itu, para pedagangnya sendiri juga memiliki tingkat intelektual yang berbeda dengan pedagang kaki lima lainnya. Contoh jelasnya, adalah cita-cita dan konsep Kampoeng Ilmu yang lahir dari swadaya para pedagang tersebut. Meski masih menyesuaikan omset penjualan per hari setelah relokasi ke lahan baru, dalam rangka meningkatkan brand awareness akan Kampoeng Ilmu, paguyuban Kampoeng Ilmu juga sempat mengundang Hermawan Kartajaya dalam diskusi kode etik 61 HK.
                Budi Santoso yang akrab dipanggil Pak Budi tersebut sempat memaparkan rencana ke depan mereka yang ingin membangun Kampoeng Ilmu dengan konsep ‘wisata pendidikan.’ “Yang kita inginkan nantinya, Kampoeng Ilmu bukan hanya tempat perdagangan buku bekas yang akan memajukan Surabaya dari segi ekonomi. Apalah artinya jika kita hanya mendapat uang. Bukankah akan lebih berguna, jika lewat Kampoeng Ilmu akan lahir Bung Karno atau Bung Hatta yang baru,” ungkap Pak Budi. Dengan bantuan beberapa aktivis, seperti Pak Hendi dari PSMTI, mereka sudah membuat rancangan bangunan yang sifatnya open air. Yaitu, sifatnya semi terbuka, ada panggung terbuka di tengah, perpustakaan di bagian belakang, dan kios-kios yang tetap berada di sekeliling lahan tersebut. Dalam proses perealisasian pembangunan tersebut, pihak Kampoeng Ilmu sempat melakukan diskusi dengan pihak Bank Mandiri untuk program CSR (Corporate Social Responsibility). “Dari pihak Bank Mandiri sih sudah setuju untuk mengucurkan sejumlah dana, namun masih menunggu proposal dari pihak Pemerintah Kota karena Bank Mandiri masih memikirkan masalah legalitas.”
                Terlepas dari kelangsungan pembangunan tersebut, Kampoeng Ilmu adalah salah satu potensi wisata yang dimiliki oleh Surabaya dan sayang sekali jika tidak dikelola dengan baik. Rasa-rasanya ironis, bila Surabaya, yang menjadi pusat perdagangan buku bekas di Wilayah Indonesia Timur ini harus kehilangan salah satu icon pendidikan kebanggaan kotanya. Mengutip ucapan Pak Budi, “Tidak semua orang mampu membeli buku baru yang tersedia di toko-toko buku itu. Jika pasar buku seperti ini tidak ada di Surabaya, masa jika kita ingin mencari buku bekas, harus ke Jogja dulu?” (vln)
*Disunting dari Tugas Akhir Teknik Penulisan Feature
Oleh: Valencia Leonata / 514 06 013
 The good you do today, will often be forgotten. Do good anyway.

Comments

  1. wisata bacaan yooookkkkk... kapan y aku mw mhambur2kan uang u buku??? hmmmm perlu dipikirkan... (lebay mode on)

    ReplyDelete
  2. uwaaaaaaaaaaaaa.. buku bku murah baguuusss.. maauuu!!!!!!!!!!! kenpa adanya di surabay??

    surabaya surabaya... oh surabayaaa

    ReplyDelete
  3. @bee: yaaa kita kan uda perna ke sanaa.. duh bahya le ke sana lagi sm kamu.. hasrat beli komik langsung meluap2.. huahahaha

    @edo: loh km di jakarta ya edo? banyak jg kan area2 beli buku second gini setauku.. :D

    ReplyDelete
  4. wah keren~ sayang itu di surabaya ya?eh apa di semarang?
    jauh amat(-.-ll)~

    ReplyDelete

Post a Comment

thanks!