Equity


Untuk edisi ketujuh kemarin, saya dan tim redaksi Toddie memutuskan untuk mengangkat tema berjudul 'Have You Love Your Kids Equally?'
Maksudnya, tentang 'keadilan' dan 'kesamaan pembagian' kasih sayang kepada anak-anak. Khususnya bagi keluarga yang memiliki anak lebih dari satu.
Saya, termasuk salah satu kru yang mencetuskan tema itu.
Karena cukup miris juga melihat peristiwa 'ketidak adilan' yang terjadi dalam keluarga.
Entah yang tergambar secara eksplisit, bahkan implisit.

Sepintas, kata Equally atau adil, terkesan mengandung arti: Sama rata. Dan banyak diartikan sebagai sama persis, dalam satuan pengukurannya.
Padahal menurut saya, keadilan bukan sekedar memberikan perlakuan sama persis dengan takaran yang sama pula...

Ini adalah dua kasus keadilan yang saya simpulkan dalam dunia keluarga dan anak:

1. Mama lebih sayang kakak, dan papa lebih sayang adik. Jadinya mama cenderung membela kakak, dan papa membela adik. Kelihatan tidak adilnya kan?
Atau yang parah, baik papa dan mama lebih sayang kakak ketimbang adik. Bisa jadi karena kakak lebih bertalenta, atau lebih nurut. Kesayangan yang lebih pada kakak, ditunjukkan dengan misalnya: sering membanding2kan.. "Kamu tuh harus pinter kayak kakak, Kamu kok g nurut kyk kakakmu sih?"

Well.. dalam contoh pertama.. ketidak adilan memang secara nyata tampak.

2. Dalam sebuah pertengkaran antar saudara, orangtua tiba-tiba datang bak seorang pahlawan. Tanpa tau perkara jelas yang membuat mereka bertengkar, orangtua lantas ambil jalan netral alias aman. 'Bersikap adil.'
Meski mungkin dari kronologi, salah satu di antara adik atau kakak terlihat bersalah, semuanya dipukul rata. Semuanya dianggap benar dan salah.
Jadi, yang selalu diucapkan:
"Kamu jadi kakak harus ngalah."
"Kamu jadi adik harus nurut sama kakak."
Entah tidak kreatif, tidak paham permasalahan, atau ambil aman.
Tapi yang jelas.. bagi saya.. pada kasus kedua.. orangtuga juga sedang berlaku tidak adil kepada kedua anaknya.

Saya yakin, dalam beberapa hal.. Yang namanya pembelaan atau ketegasan 'siapa yang bertanggung jawab' itu tetap perlu. Bukan berarti orangtua jadi berpihak dan tidak menyayangi yang lain. Sebaliknya, anak harus mengerti kesalahan atau hal baik apa yang sudah diperbuatnya.

Dipikir-pikir, susah memang jadi orangtua. Over 'berpihak' jelas salah.
Tapi over 'safe play' juga jelas salah.
Dan masalahnya, orangtua sering merasa benar ketika bermain di zona abu-abu tersebut. Dengan perisai 'saya kan berusaha memperlakukan mereka sama', sebenarnya mereka sedang berlaku egois. Berusaha menenangkan perasaan mereka sendiri tanpa berusaha 'repot.' Tanpa berusaha repot mencari tau, menggali kejadian, apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa paham, siapa yang sebenarnya membutuhkan pembelaan, peneguhan, atau bahkan teguran.

Alhasil, anak serasa harus menginterpretasi sendiri: yang saya lakukan tadi itu sebenarnya benar atau salah?
Yang salah bisa merasa benar. Yang benar bisa merasa salah.
Saya tahu, terkadang, benar atau salah bukan tolak ukur utama.
Tapi bagi seorang anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang pola pikir dan prinsip hidup, betul-betul dibutuhkan sebuah figur yang mampu memberikan arahan kepadanya.
Dan saya rasa, di situlah peran orangtua.
******

Btw, saya tiba2 posting topik ini gara2 kejadian yang baru saja saya alami.
Dua adik sepupu saya bertengkar bak kucing dan anjing. Persoalan klise. Kakak suka menggoda adik. Adik paling tidak bisa digoda. Tapi ujung-ujungnya, jika hal seperti itu hanya ditanggapi sebagai *hal wajar dalam persaudaraan, saya tau dalam batas tertentu, efeknya tidak akan terasa wajar.
Dan karena saya tidak mengerti siapa yang sesungguhnya benar atau salah.
Dan saya tidak mau ambil jalur aman dengan sekedar berkata, "sudah kakak, km jangan nggarai terus, adik km jg jangan anggep kakakmu.."
Akhirnya.. inilah yang saya lakukan...

Pada saat saya datang, keduanya sedang terlibat perang mulut. Dan si adik cewek yang emang suka mengadu langsung bilang, "Ce.. ini loh.. koko kalo ada cece langsung diem.. padahal kalo cece pergi dia pasti gangguin meme"

Saya berusaha sebisa mungkin mengajak mereka jujur.
Saya ajak bicara si kakak dengan nada tegas.
"Ko, jawab dengan jujur dan lihat mata cece.. Kamu beneran nggodai meme waktu cece gak ada tah?"


"Nggak."

"Sungguh ya.. Cece nggak ngerti yang kamu bilang itu bener apa nggak. Tapi Tuhan ngerti. Dan kamu harus pegang omonganmu sendiri."


Hal serupa saya lontarkan pula kepada sang adik.

Keadilan memang bukan hal mutlak yang mudah bagi manusia.
Tapi saya juga ga mau asal cari aman.
Dengan bertopengkan keadilan.

The good you do today, will often be forgotten. Do good anyway.

Comments