Sudah Pulang dan Masih Heran - Part 1

Juli 2012. Saya sekarang sudah agak lupa dengan jelas tanggalnya. 15 sepertinya (habis cek kalender elektronik soalnya :p ) Hari di mana saya akhirnya mendarat di kampung halaman untuk pulang, kembali menetap. Atau 'for good' istilahnya.

Berarti kalau sekarang tanggal 20 sekian Maret 2013, sudah 8 bulan saya di Surabaya.
Ibarat waktu masih SD dulu, masih pake sistem caturwulan, saya sekarang sudah menyelesaikan cawu II, kurang satu cawu lagi untuk menyelesaikan satu tahun ajaran. Dibilang sudah lama banget ya enggak... Tapi kalau dibilang 'enggak kerasa', ya betul sekali. Lebih tepatnya, enggak kerasa saya bisa juga sampai di cawu II ini.

Sudah sejak lamaaaaa saya mau menuliskan tentang banyak hal terkait tentang topik pulang ini. Mengapa pulang, apa yang terjadi akhirnya ketika pulang, dan seterusnya.

Sebenarnya satu kata yang paling menyatukan semua hal yang ingin disampaikan seputar kepulangan itu adalah: heran. 

Jujur, saya sampai sekarang itu masih suka terheran-heran sendiri.
Nomer satu, tentang keputusan saya untuk akhirnya pulang 'for good.'
Agak gila sepertinya. Di saat semua impian seakan sudah tersedia di telapak tangan, hanya tinggal digenggam, seakan-akan saya memutuskan untuk melepaskan begitu saja. Yang terbesar yang sudah tersedia di depan mata sudah ada padahal: kebebasan. Freedom.
Kebebasan yang sudah terbukti bisa dipertanggung jawabkan.

Pengalaman hidup dalam keseorang dirian untuk pertama kalinya ternyata membukakan sebuah fakta yang baru saya ketahui tentang diri saya sendiri. Ternyata meski saya ini cukup 'people-person', kebebasan adalah hal baru yang saya begitu dambakan. Well, mungkin pada dasarnya itu salah satu sisi yang dirasakan semua anak perantauan. Jauh dari keluarga, bebas ngapa-ngapain. Tapi bagi saya pribadi, kebebasan itu lebih dari sekedar euforia anak yang baru dilepas sendirian ke kota yang lebih besar. Bukan. Itu seperti menyalakan tombol 'on' ke satu fungsi kehidupan yang sebelumnya selalu padam, tanpa paham bahwa itu merupakan salah satu penerangan utama dalam kepribadian saya.

Saya akui orangtua saya termasuk kolaborasi dua pribadi yang pada akhirnya cukup memberikan kebebasan pada saya untuk bebas mengambil keputusan, termasuk berbuat kesalahan. Asalkan semuanya dapat dipertanggung jawabkan. Meski demikian, pada akhirnya kami tetaplah keluarga berkultur timur yang kental dengan adat budaya serta semua hal yang berkaitan dengan sanak famili. Sehingga meski secara internal rumah tangga saya basically tidak terlalu dikekang, namun dalam lingkup kampung halaman, saya merasa ruang gerak saya cukup dibatasi.

Di Jakarta hampir tidak ada yang mengenal seorang Valencia Leonata. Teman lingkungan akademis, teman main, teman komunitas gereja, teman yang berkaitan dengan profesi semuanya nol besar. Saya bebas memulai dari awal, membangun relasi dengan siapa dan dengan cara apa. Dan toh akhirnya saya tiba di sana.

Di titik ketika saya menemukan ritme cukup gila kehidupan baru beserta pertemuan dengan orang-orang baru yang banyak memperkaya pandangan saya.

Sebulan awal benar-benar sendiri dilanda kesepian yang cukup menyesakkan (betul sebulan pertama memang yang tersusah). Keseorang dirian ternyata tidak bisa diremehkan....

Belanja kebutuhan kecil-kecil sehari-hari, rutinitas aktivitas, mengatur pengeluaran operasional sinting, melalui banyak momen makan siang, makan malam, nonton bioskop, nonton konser, belanja, urusan bengkel, mengganti ban cadangan, menghabiskan akhir pekan, terkapar kelelahan, terjebak kemacetan. Seorang diri.

Dari titik terkejut, terbiasa, hingga akhirnya mulai menikmati.

Bertemu orang-orang baru. Dari yang awalnya menyiapkan mental 'ya sudah kalau nggak ketemu teman dekat, toh saya ke sini bukan untuk berteman', sampai akhirnya dipertemukan dengan manusia-manusia sefrekuensi. Urusan becandaan, diskusi kasual film-musik hingga debat kontekstual akademis maupun isu sosial, berbagi dari hati ke hati, manja-manja an, update kehidupan sehari-hari, semuanya sudah saya dapatkan.

Pintu-pintu bidang yang berkaitan dengan mimpi-mimpi terbuka dengan akses luas. Demikian pula dengan pola hidup serba menantang dan memacu saya untuk terjun dalam persaingan yang selalu saya idamkan.

Bayangan kehidupan yang bebas nan mandiri secara karir, finansial, serta keseimbangan kehidupan sosial itu sudah cukup membahagiakan saya.

Apalagi yang masih kurang?

Namun dari kejauhan satu ruang yang sengaja ditinggal lari itu seakan terus memanggil. Mengetuk. Membunyikan bel, isyarat tanda bahaya. Sesekali. Dua kali. Tidak ada sirine yang memekakkan memang. Seingat saya, tidak pernah ada memang.
Mungkin memang ikatan yang kuat itu tidak bisa dipungkiri. Sirine yang berbunyi nyaring itu sebenarnya ada dari sisi saya sendiri. Sebuah alarm tanda bahaya tak berbunyi yang memang mungkin hanya saya yang merasakannya.

'Saya harus pulang.'

Meski itu harus ditukar dengan segala kenyamanan kebebasan ini.
Meski itu artinya saya harus kembali menekan tombol 'off' pada penerangan utama ini.

Mungkin itu alasannya saya suka membaca 'Perahu Kertas.'
Sepertinya makin lama banyak sisi kehidupan para karakternya yang memiliki kesamaan dengan saya. Dulu Kugy. Sekarang Keenan.

Di sisi lain, hal itu juga yang melandasi keheranan saya. Ya, sebenarnya poin keheranan saya bukanlah 'kok bisa saya pulang dan melepaskan kebebasan saya begitu saja'

tapi lebih tepatnya

'kok bisa saya mau pulang dan bisa melepaskan kebebasan yang begitu saya cintai begitu saja dan tetap merasa damai?'

:)

Mungkin ini juga yang jadi salah satu alasan lain saya semakin menyukai 'Perahu Kertas.'

Saya juga makin percaya, memang sepertinya benar:
'Karena hati tidak perlu memilih, dia telah tau ke mana seharusnya dia berlabuh.'

Ada yang belum bisa dijelaskan pada saat itu, tapi dengan mantap bisa saya rasakan.
Ya, saya mau pulang. :)
Bukan karena siapa-siapa. Bukan karena apa-apa.
Tapi karena saya sendiri yang mau.

Terima kasih atas sirene-sirene yang selalu memberikan simbol lambang tertentu yang memang hanya saya yang bisa pahami itu.

Yang bersyukur akhirnya pulang.
Meski masih terus terheran-heran,


Valen

Lover. Dreamer. Learner.

Comments